ASWAJA AN-NAHDLIYAH;
Dari Madzhab Menuju Manhaj*
Pengantar
Aswaja
adalah aliran keagamaan yang diikuti oleh mayoritas umat Islam Indonesia,
khususnya Nahdlatul Ulama. Aswaja NU terkenal dengan nama Aswaja Nahdliyah, yaitu
Aswaja yang menjadi keyakinan dan dasar utama bagi warga NU dalam semua bidang,
agama, sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, dan politik. Namun sayang,
mayoritas warga NU belum memahami secara mendalam apa itu Aswaja ?, apa yang
membedakan Aswaja dengan aliran lain ?, dalil-dalil yang menjadi dasar amaliyah
warga NU seperti tahlilan, manakiban, yasinan, dan lain-lain ?, Apakah benar
amaliyah warga NU termasuk bid’ah dhalalah (sesat) ? kalau tidak, apakah
termasuk kategori sunnah ? Wacana bid’ah selalu dijadikan senjata untuk
menyerang amaliah warga NU secara terus menerus. Pelurusan wacana sangat
penting dan mendesak, supaya warga NU bisa mengamalkan tradisinya secara nyaman
dan tenang.
Selain itu, tantangan modernisasi dan globalisasi membuat
formulasi Aswaja klasik mengalami kemunduran, karena dirasa kurang mampu
menjawab tuntutan dinamika zaman. Maka, menjadi suatu keniscayaan melakukan
penyegaran dan pembaruan doktrin Aswaja. Salah satunya adalah menjadikan Aswaja
sebagai manhaj al-fikr (metodologi berpikir) dalam membaca realitas
secara dinamis, analitis, produktif, dan solutif. Persoalan muncul lagi,
bagaimana mengaplikasikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr dalam organisasi
dan program-programnya. Disinilah pentingnya membumikan Aswaja sebagai manhaj
al-fikr dalam organisasi dan program-programnya supaya operasional
kuatitatif sehingga bisa meningkatkan kualitas warga NU secara maksimal.
Latar Belakang Historis Lahirnya Aswaja
Lahirnya
Aswaja tidak bias dilepaskan dari munculnya pergolakan firqoh-firqoh dalam
Islam wafatnya
Rasulullah
Saw. Setelah
Rasulullah Saw
wafat
peran
sebagai kepala Negara digantikan oleh para
sahabat-sahabatnya,
yang
disebut
khulafaur Rasyidin yakni Abu
Bakar,
Umar bin
Khatab, Utsman
bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Namun, ketika pada masa Utsman
bin Affan mulai
timbul
adanya
perpecahan
antara umat
Islam yang disebabkan oleh banyaknya
fitnah
yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat,
akibat dari banyaknya fitnah
yang timbulkan
pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai
pada masalah teologis.
Dalam sejarah Islam telah tercatat adanya firqah-firqah(faham/golongan) dalam lingkungan umat Islam, dimana satu dengan lainnyabertentangan faham secara tajam dan sulit untuk didamaikan. Didalam buku Bugyatul Mustarsyidin karangan Mufti
Sheikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, bahwa ada 72 firqah
yang sesat bertumpu pada 7 firqah yaitu
:
1.
Faham Syi’ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Saidina Ali bin Abi Thalib.
Mereka tidak mengakui Khalifah Rasyidin yang lain seperti Khalifah Abu Bakar
as-Shiddiq, Khalifah Umar Ibnu Khattab dan Khalifah Utsman bin Affan. Kaum
Syi’ah terpecah menjadi 22 aliran,
termasuk di antaranya adalah Kaum Bahaiyah dan Kaum Ahmadiyah Qad-yan.
2.
Faham Khawarij, yaitu kaum kaum yang berlebih-lebihan membenci Saidina Ali bin Abi
Thalib, bahkan di antaranya ada yang mengkafirkan Saidina Ali. Firqah ini
berfatwa bahwa orang-orang yang membuat dosa besar menjadi kafir. Kaum Khawarij
terpecah menjadi 20 aliran.
3.
Faham Mu’tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa
manusia membuat pekerjaannya sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata
dalam surga, orang yang mengerjakan dosa besar diletakkan di antara dua tempat,
dan mi’raj Nabi Muhammad SAW hanya dengan roh saja, dll. Kaum Mu’tazilah
terpecah menjadi 20 aliran,
termasuk di antaranya adalah Kaum Qadariyah.
4.
Faham Murjiah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa membuat maksiat (kedurhakaan)
tidak memberi mudharat jika sudah beriman, sebaliknya membuat kebaikan dan
kebajikan tidak bermanfaat jika kafir. Kaum ini terpecah menjadi 5 aliran.
5.
Faham Najariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan manusia adalah
makhluk, yaitu dijadikan Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat Tuhan
tidak ada. Kaum Najariyah terpecah menjadi 3 aliran.
6.
Faham Jabariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa manusia “majbur”, artinya tidak
berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya 1 aliran.
7.
Faham Musyabbihah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa ada keserupaan Tuhan dengan
manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik dan turun tangga dll.
Kaum ini hanya 1 aliran saja.
Kaum Ibnu Taimiyah termasuk dalam golongan ini, dan Kaum Wahabi adalah termasuk
kaum pelaksana dari faham Ibnu Taimiyah.
Sebagai reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang sesat tadi, maka
pada akhir abad ketiga Hijriyah muncullah golongan yang yang bernama
Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin
yaitu Sheikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari dan Sheikh Abu Mansur
al-Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan
menjadi Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau
Asy’ariyah, dikaitkan kepada guru besarnya yang pertama yaitu Abu Hasan ‘Ali
al-Asy’ari.
Ahlusunnah wal jama’ah berarti kaum atau golongan yang menganut serta
mengamalkan ajaran Islam yang murni sesuai ajaran Rosulullah SAW dan para
sahabatnya. I’tiqad Nabi dan sahabat-sahabat itu telah
terdapat dalam Al-Quran dan dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum
tersusun rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan
rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Sheikh Abu Hasan ‘Ali
al-Asy’ari. Karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah
wal Jama’ah dengan kaum Asya’irah. Dalam buku-buku Ushuluddin biasa
dijumpai perkataan Sunni sebagai kependekan dari Ahlussunnah wal Jama’ah
dan pengikut-pengikutnya dinamai Sunniyun.
Di dalam buku ‘Ihtihaf Sadatul Muttaqin’ karangan Imam Muhammad bin
Muhammad al-Husni Az-Zabidi, yaitu buku Syarah dari Ihya Ulumuddin disebutkan
bahwa apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya adalah
orang-orang yang mengikut rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Mansur
al-Maturidi.
Hubungan NU Dengan Aswaja
Nahdlatul ‘Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H
bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M oleh para ulama pengasuh pesantren
yang didalam komunitas Islam mempunyai kesamaan wawasan, pandangan, sikap dan
tata cara pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam Ahlus sunnah wal jama’ah.
Paling tidak ada tiga faktor yang melatarbelakangi berdirinya
Nahdlatul ‘Ulama yaitu : Pertama, Usaha untuk mempertahankan
faham Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dan rasa cinta tanah air (untuk Persatuan dan
Kesatuan). Kedua, Berkembangnya
Ajaran wahabiyah (haram Ziarah kubur, tidak mengakui waliyullah, haram
Tahlilan, berdoa langsung pada Allah, Haram Dhiba’/Berjanzi, Haram shodaqoh
untuk orang yang telah meninggal, dsb) Semuanya tadi termasuk BID'AH. Ketiga, Berdirinya Komite Hijaz.
Besarnya pengaruh kyai/ulama melalui lembaga pendidikan pesantren
mengakibatkan Nahdlatul 'Ulama mudah berkembang dengan pesat, khususnya di
daerah basis pesantren. Sebagai Jam’iyyah
Diniyah yang bermotif
keagamaan dan berlandaskan keagamaan, segala sikap, perilaku, dan karakteristik
perjuangan Nahdlatul ‘Ulama selalu disesuaikan dan diukur dengan norma dan
ajaran agama Islam Ahlus sunnah wal jama’ah, serta bercita-cita
keagamaan yakni Izzul Islam Wal Muslimin
atau dengan kata lain tercapainya Sa’adatud
darain bagi umat dan warganya.
Sejak awal Nahdlatul 'Ulama menegaskan
bahwa ia merupakan penganut Ahlusunnah wal Jama'ah, sebuah paham
keagamaan yang bersumber pada Al Qur’an, As sunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas. Secara harfiah Ahlusunnah wal Jama'ah
berarti penganut sunnah Nabi Muhammad saw dan jama’ah (para sahabat) atau
segolongan pengikut sunnah Rasulullah saw yang didalam melaksanakan
ajaran-ajarannya berjalan di garis yang dipraktekkan oleh jama’ah (para
sahabat). Menurut NU, faham Ahlusunnah wal Jama'ah tidak dapat dipisahkan dari
haluan bermadzhab, sebagaimana ditegaskan dalam Naskah Khittah NU pada butir 3
sebagai berikut :
a. Nahdlatul 'Ulama mendasarkan faham
keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al Qur'an, As-Sunnah, Al Ijma', dan Al
Qiyas.
b.
Dalam
memahami, menafsirkan Islam dari sumber ajarannya, Nahdlatul 'Ulama mengikuti
faham Ahlusunnah wal Jama'ah dan menggunakan jalan pendekatan al-Madzhab,
yaitu: Pertama, dalam bidang aqidah, Nahdlatul 'Ulama mengikuti faham
Ahlusunnah wal Jama'ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam
Abu Mansur Al Maturidi. Kedua, dalam bidang hukum Islam (fiqih),
Nahdlatul 'Ulama mengikuti jalan pendekatan (al Madzhab) salah satu dari
madzhab Imam Abu Hanifah an Nu'man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin
Idris Asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Ketiga, dalam bidang
tasawuf mengikuti antara lain Imam Al Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali,
serta imam-imam yang lain.
Aswaja sebagai
Mazhab
Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran,
sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai
sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja).
Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.
Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya
mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian
banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama
terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang
secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja.
Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy'ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun
NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja
(harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari,
ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan
dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.
Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan
doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup
populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan
mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho'if) dan atsar
sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara
global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan
persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat,
penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.
Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi
ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin
Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang
muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas
pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami
agama.
Reformulasi Aswaja Sebagai Manhajul Fikr dan Manhajul Amaly;
KH. Said Agil Siradj memberikan
pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah Waljamaah adalah orang-orang yang
memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang
berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi.
Baginya Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni
Ahlussunnah Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan sebuah manhaj al-fikr
(pendekatan berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya,
yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral
dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Namun harus diakui bahwa kelahiran
Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj al-fikr tidak terlepas dari pengaruh tuntutan realitas sosio-kultural dan
sosio-politik yang melingkupinya.
Dalam merespon berbagai persoalan baik yang berkenaan dengan
persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul 'Ulama memiliki manhaj
Ahlusunnah wal Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir Nahdlatul
'Ulama (Fikrah Nahdliyah). Adapun ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah
antara lain :
1.
Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul 'Ulama senantiasa bersikap tawazun
(seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan.
2.
Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul 'Ulama dapat hidup
berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun aqidah, cara
piker, dan budayanya berbeda.
3.
Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul
'Ulama selalu mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al
ishlah ila ma huwa al ashlah).
4.
Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul 'Ulama senantiasa melakukan
kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
5.
Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul 'Ulama senantiasa
menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah
ditetapkan oleh Nahdlatul 'Ulama.
Konsep Fikrah Nahdliyah itulah yang menyebabkan Nahdlatul 'Ulama
nampak sebagai organisasi social keagamaan yang sangat moderat, toleran,
dinamis, progressif dan modern. Secara konseptual sebenarnya pola pikir
Nahdlatul 'Ulama tidak tradisionalis, ortodok, ataupun
konservativ, hal ini bisa kita lihat pada perkembangan intelektual di
lingkungan Nahdlatul 'Ulama khususnya kaum muda Nahdlatul 'Ulama yang
menunjukkan kecenderungan radikal dalam berpikir dan moderat dalam
bertindak sebagaimana laporan
penelitian Mitsuo Nakamura saat mengikuti Muktamar Nahdlatul 'Ulama Ke-26 di
Semarang (1979), demikian pula Martin Van Bruinessen (1994).
Nahdlatul 'Ulama berpendirian bahwa faham Ahlusunnah wal Jama'ah
harus diterapkan dalam tata kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian
sikap yang bertumpu pada karakter Ahlusunnah wal Jama'ah (Manhajul Amaly). Ada lima istilah utama yang diambil dari Al
Qur’an dan Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah
sebagai landasan Nahdlatul 'Ulama dalam bermasyarakat atau sering disebut
dengan konsep Mabadiu Khaira Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan karakteristik
anggota Nahdlatul 'Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep
keagamaan Nahdlatul 'Ulama, antara lain :
1.
At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua
kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta
menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan.
2.
Al I’tidal
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak
condong ke kiri. I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada
yang benar dan yang harus dibela.
3.
At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada,
mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa
mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam
masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
4.
At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan
sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain.
5.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik
yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan
menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau
menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.
Berbeda dengan konsep aswaja sebagai manhaj
al-fikr, yang belakangan dikembangkan juga sebagai manhaj
al-amal (pendekatan melakukan kegiatan), aswaja
diposisikan sebagai metode berpikir dan bertinadak yang berarti menjadi alat (tools)
untuk mencari, menemukan, dan
menyelesaikan berbagai permasalahan
sosial. Sebagai alat, maka sikap pro aktif untuk mencari penyelesaian menjadi
lebih bersemangat guna
melahirkan pikiran-pikiran yang kreatif dan orisinil. Dalam hal ini pendapat
para ulama terdahulu tetap ditempatkan dalam kerangka lintas-komparatif,
namun tidak sampai harus menjadi belenggu pemikiran yang dapat mematikan atau
membatasi kreativitas
Perubahan kultur dan pola pikir ini
juga dapat dilihat dalam prosedur perumusan hukum dan ajaran Ahlusunnah wal
Jama'ah dalam tradisi jam’iyah Nahdlatul 'Ulama yang menggunakan pola Maudhu’iyah
(tematik) atau terapan (Qonuniyah) yang berbentuk tashawur
lintas disiplin keilmuan empiric dan Waqi’iyah (kasuistik) dengan
pendekatan tathbiq al-syari’ah dan metode takhayyur (eklektif).
Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan
menyebabkan aswaja semakin shalih likulli
zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Disamping itu NU
menjadi sentral gerakan dalam menjaga stabilitas sosial keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin. Menurut
Badrun (2000), terdapat lima ciri yang perlu diperhatikan dalam memosisikan aswaja
sebagai manhaj al-fikr atau manhaj al-amal :
(1) Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks
fiqih untuk mencari konteksnya yang baru;
(2) Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab
qauly) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajy);
(3) Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul)
dan mana yang cabang (furu’);
(4) Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif;
(5) Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam
masalah-masalah sosial dan budaya.
Dalam
upaya “Revitalisasi NU untuk masyarakat dan bangsa yang damai dan
berkeadilan bagi semua”, perlu upaya
dan strategi yang terencana dan dapat diaplikasikan secara efektif di semua
tingkatan dengan tujuan dapat tercipta sebuah organisasi dan infra struktur NU
yang kuat dan mandiri. Upaya-upaya yang dilakukan meliputi:
(1) Perspektif umat, melakukan pemberdayaan warga nahdliyyin dan kelompok
masyarakat terpinggirkan melalui advokasi kebijakan publik pada level lokal,
dan melakukan aksi-aksi praktis pendampingan kelompok-kelompok warga pada
tingkat local dan akar rumput;
(2) Perspektif finansial, melakukan revitalisasi Badan atau unit-unit usaha
warga atau organisasi NU, membangun kemitraan dengan berbagai pihak, pemerintah,
swasta dengan menerapkan manajemen keuangan yang professional, transparan dan
akuntabel;
(3) Perspektif organisasi,
mengupayakan terciptanya tata laksana organisasi yang modern, rasional,
dan terpercaya dengan berbdasis teknologi informasi dimana mekanisme, pembinaan
dan penguatan berjalan efektif dengan orientasi yang jelas pada kepentingan
warga;
(4) Perspektif sumber Daya Manusia; mengupayakan terciptanya jaringan SDM
multi disiplin dan talenta yang berkualitas, kompeten, jujur, peduli dan
konsisten dengan semangat pengorbanan dan kesetiakawanan yang tinggi bagi
tercapainya tujuan bersama.
__________________
Sumber bacaan :
Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah, “Khalista” Surabaya, (Surabaya,
Cet. 3, 2005)
Badrun
Alaina, NU, Kritisisme dan
Pergeseran Makna Aswaja, Tiara Wacana, (Yogyakarta,, 2000)
Siradjudin Abbas, I’tiqad
Ahlusunnah wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah (Jakarta, 1993).
Syaifuddin Zuhri, Menghidupkan
Nilai-Nilai Aswaja dalam Praktik, PP.IPNU, (Jakarta, 1976).
Tim Penulis, Materi Dasar Nahdlatul ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
PW. LP Ma’arif NU Jawa Tengah, (Semarang, 2002).
Tim PWNU Jawa Timur, Ahlusunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah, “Khalista”
Surabaya bekerja sama dengan Lajnah
Ta’lif Wan Nasyr Jawa Timur, (Surabaya, 2007).
* Disampaikan dalam LAKMUD
IPNU-IPPNU Cabang Pati, STAIMAFA 16 Maret 2012
** Penulis adalah Tim Aswaja Center PCNU Kab. Pati Pengurus LTN-NU dan Ketua MWC.NU Winong.