Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ للهِ وَحْدَهُ، نَحْمَدُهُ
وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ اِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ
شُرُوْرُ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَهُوَ
الْمُهْتَدُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
بَلَغَ الرِّسَالَةَ وَأَدَّى اْلأَمَانَةَ وَنَصَحَ لِلأُّمَّةِ وَتَرَكَنَا
عَلَى الْمَحْجَةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلَهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا
اِلاَّ هَالِكٌ
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ
عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَتِهِ
اِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا عِبَادَ اللهِ اُوْصِيْكُمْ
وَنَفْسِي الْخَاطِئَةِ الْمُذْنِبَةِ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ. وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي مُحْكَمِ التَّنْزِيْلِ بَعْدَ أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ :
يَا أَيُّهَا الََّذِيْنَ آمَنُوْا
اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
(آل عمران : 102)
وَقَالَ فِي أَيَةٍ أُخْرَى :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (الإسراء : 1)
Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah
jum’at rahimaniy wa rahimakumullah
Pertama-tama, marilah kita
tingkatkan kualitas taqwa kita kepada Allah dengan berupaya maksimal
melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga
Sunnah Rasul saw. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk meninggalkan
apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul
Saw. Hanya dengan cara itulah ketaqwaan kita mengalami peningkatan dan
perbaikan.
Selanjutnya, shalawat dan salam mari
kita bacakan untuk nabi Muhammad Saw sebagaimana perintah Allah dalam
Al-Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ
وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya
Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi (Muhammad saw). Wahai orang-orang
beriman, ucapkan shalawat dan salam atas Nabi (Muhammad saw).” (QS. Al-Ahzab [33] : 56)
Ma’asyiral muslimin rahimani wa
rahimakumullah
Manusia hidup dalam tiga dimensi
waktu: masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Orang yang baik
adalah orang yang pandai mengambil pelajaran dari masa lalu untuk menentukan
sikap hari ini dan merencanakan masa depan, sehingga hari ini bisa lebih baik
dari hari kemaren dan besok bisa lebih di atas tingkat prestasi yang dicapai
dari pada hari ini.
Dalam konteks itulah Isra’ Mi’raj
yang merupakan peristiwa masa lampau tetap relevan diambil sebagai pelajaran
untuk kita jadikan acuan hidup di zaman sekarang agar masa depan kita jauh
lebih berkualitas dari pada hari ini atau pun kemaren.
Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah
jum’at rahimaniy wa rahimakumullah
Kalau kita perhatikan, hampir setiap
bulan dalam kalender Islam memiliki nilai sejarah. Kalau kita bicara Muharram
misalnya, kita diingatkan pada peristiwa hijrah. Di bulan Ramadhan kita bertemu
dengan Nuzulul Qur’an. Di bulan Dzul Hijjah membawa kita ke peristiwa Idul
Qurban. Kita menjumpai Idul Fitri di bulan Syawwal. Kita bersua dengan Maulid
Nabi di bulan Rabi’ul Awwal. Dan ketika perjalanan hidup kita tiba di bulan
Rajab, kita diajak mengembara, merasakan ke-MahaBesar-an Allah bersama
peristiwa menakjubkan: Isra’ dan Mi’raj.
Al-Qur’an memang bukan kitab
sejarah, tetapi al-Qur’an banyak menceritakan peristiwa bersejarah. Dan kalau
kita tela’ah gaya bahasa yang digunakan al-Qur’an dalam menceritakan peristiwa
bersejarah itu ternyata berbeda-beda.
Sangat istimewa sekali, bahwa untuk
mengisahkan peristiwa Isra’ Mi’raj, Allah memulai ayat-Nya dengan kalimat
tasbih. Allah berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ
لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي
بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
Dalam ayat ini Allah memulainya
dengan kalimat “سُبْحَانَ” (Maha Suci Allah). Banyak peristiwa yang
diceritakan Al-Qur’an, tetapi jarang sekali diawali dengan kalimat Tasbih.
Ketika al-Qur’an menceritakan bagaimana fir’aun dan bala tentaranya
ditenggelamkan di Laut Merah, itu peristiwa hebat, tapi tidak dimulai dengan
kalimat Tasbih.
Kalau untuk memaparkan peristiwa
Isra’ Mi’raj Allah memakai kalimat Tasbih, tentulah bukan suatu kebetulan. “سُبْحَانَ الَّذِي” (Maha Suci Allah). Maha Suci dari segala
kelemahan. Maha Suci dari segala sifat kekurangan. Maha Suci dari segala
kesia-siaan. Allah mempertaruhkan kesucian-Nya untuk menjamin kebenaran
peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Pertanda bahwa Isra’ Mi’raj bukan peristiwa
biasa.
Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah
jum’at rahimaniy wa rahimakumullah
Kalimat selanjutnya: “أَسْرَى”
berasal dari kalimat “سَرَى
– يَسْرِي ”
(artinya berjalan), yang kemudian dibentuk menjadi muta’addi dengan menambahkan
Hamzah di awalnya: “أَسْرَى
– يُسْرِي – إِسْرَاءً”
(artinya memperjalankan).
Dari kalimat itu tampak bahwa dalam
peristiwa Isra’ Mi’raj yang aktif sebenarnya Allah. Karenanya tidak heran jika
nabi berangkat dari Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina, lalu naik ke
langit ke tujuh, naik lagi ke Baitul Makmur setelah itu ke Shidratul Muntaha,
hingga tiba di bawah ‘Arsy menerima perintah shalat, melakukan kunjungan ke
Syurga dan Neraka, kemudian kembali lagi ke Mekkah, hanya memakan waktu tidak
lebih dari sepertiga malam. Kenapa tidak? Allah-lah yang memperjalankan. Nabi
sendiri pasif, sekedar diperjalankan dan terima beres. Andai kata Rasul berjalan
sendiri, jelas beliau tidak akan sanggup menempuh jarak yang demikian jauh
dalam waktu sesingkat itu. Oleh karena itu, dalam memahami peristiwa Isra’
Mi’raj jangan memakai logika manusia, tetapi harus menggunakan logika
ke-MahaKuasa-an Allah.
Dahulu Abu Jahal, Abu Lahab dan
kawan-kawannya memahami peristiwa Isra’ Mi’raj ini dengan logika berfikir
manusia, terang saja mereka tidak bisa mencerna. Padahal kalau sedikit saja mau
merenungi ayatnya, orang tidak akan kesulitan memahami Isra’ Mi’raj. Peristiwa
Isra’ Mi’raj itu kehendak Allah, bukan kehendak Rasulullah SAW.
Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah
jum’at rahimaniy wa rahimakumullah
Kemudian lanjutan ayat terdapat
kalimat: “عَبْدِهِ” (hamba-Nya). Kenapa Allah tidak
menggunakan kalimat lain, misalnya langsung saja disebut nama Nabi: سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى
بِمُحَمَّدٍ (Maha
Suci Allah yang telah memperjalankan Muhammad)?
Ada dua pengertian yang dikandung
kata “عَبْدِهِ” (hamba-Nya) dalam ayat tersebut:
Pertama: Kata “hamba” itu
menjelaskan bahwa Nabi Isra’ Mi’raj dengan ruh dan jasad. Sebab, orang hanya
akan dipanggil hamba kalau punya jasad dan ruh sekaligus.
Kedua: Kalimat “عَبْدِهِ”
juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad itu oleh Allah benar-benar telah diakui
sebagai hamba-Nya. Mungkin kita bertanya, “Apakah kita bukan hamba Allah?”
Tentu kita ini hamba Allah, tapi kata siapa? Kalau kata kita, itu namanya
pengakuan. Kita mengaku sebagai hamba Allah. Boleh-boleh saja. Tetapi apakah
pengakuan kita itu juga diakui oleh Allah, ini yang jadi masalah. Mengaku
sebagai hamba Allah masih menyimpan tanda tanya besar tentang bukti empiris
dari pengakuan tersebut, sementara panggilan “hamba” dari Allah merupakan
penilaian tersendiri dari Allah atas realitas ke-hamba-an kita. Nabi Muhammad,
Allah-lah yang mengakuinya benar-benar sebagai hamba-Nya.
Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah
jum’at rahimaniy wa rahimakumullah
Kalimat selanjutnya “لَيْلاً”
(pada suatu malam). Kata ini memakai bentuk mufrad (tunggal) untuk menunjukkan
satu. Ayat ini mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad SAW diperjalankan oleh Allah
dalam peristiwa Isra’ Mi’raj ini pada malam hari dan waktunya hanya satu malam
(bahkan hanya sepertiga malam). Kenapa Nabi diperjalankan pada malam hari?
Karena menurut kebiasaan kabilah Arab yang mayoritasnya berprofesi sebagai
pedagang, mereka melakukan perjalanan jauh pada malam hari agar tidak merasakan
panas teriknya matahari di tengah gurun sahara pada siang hari. Begitu juga
Nabi Isra’ Mi’raj ini adalah untuk menghadap bertemu dengan Allah SWT. Waktu terbaik
untuk menghadap bermunajat kepada Allah juga adalah pada malam hari.
Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah
jum’at rahimaniy wa rahimakumullah
Hakikat dan tujuan Isra’ Mi’raj
hanya Allah yang Maha Tahu. Tetapi di penghujung ayat itu kita menjumpai kalimat:
“لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا” (Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda kebenaran Kami).
Seluruh pemandangan dan peristiwa
yang dilihat dan dijumpai Nabi sepanjang perjalanan merupakan sebagian kecil
dari tanda-tanda kebesaran Allah. Dan itu merupakan tamsil, contoh, dan
pelajaran bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Misalnya ketika Nabi melihat
orang yang mencakar-cakar mukanya dengan kukunya sendiri. Beliau bertanya, “Ya
Jibril, itu orang macam apa?” Jibril yang pada perjalanan Isra’ Mi’raj bertugas
sebagai pendamping menjelaskan, “Muhammad, itulah contoh dari ummatmu yang suka
menjelek-jelekkan saudaranya sendiri”.
Sesama muslim adalah bersaudara
seperti satu tubuh. Jika yang satu sakit yang lain ikut merasa sakit. Seorang
muslim terinjak yang lainnya ikut merasa pedih. Refleks tanpa harus menunggu
undangan. Sehingga logis jika seorang muslim yang suka menjelek-jelekkan
saudaranya digambarkan seperti orang yang mencakar-cakar mukanya sendiri.
Seperti kata pepatah, “Menepuk air di dulang, terpercik ke muka sendiri”.
Lalu Nabi melihat orang yang
dipotong lidahnya. Kata Malaikat Jibril, “Muhammad, itulah tamsil dari umatmu
yang suka membuat fitnah, tukang bikin gosip.
Kemudian beliau menjumpai orang
memikul kayu. Bebannya tampak sudah berat, akan tetapi, beban yang sudah
membuat jalannya terseok-seok itu makin ditambah. Makin berat makin ditambah,
begitu seterusnya. Sehingga Nabi merasa heran dam bertanya, “Jibril, apa lagi
ini?” Jawab Malaikat Jibril, “Muhammad, itulah gambaran ummatmu yang dipercaya
untuk memikul suatu amanat, tetapi sebelum dilaksanakan dia sudah menerima
amanat yang lain. Akhirnya bertumpuk-tumpuk di pundaknya. Dia diberi jabatan
dan tak mampu menunaikan, namun ketika dikasih lagi dia mau, diberi lagi dia
terima lagi, dan seterusnya. Demikian banyak jabatan yang dirangkap, tapi tak
satupun yang berhasil dilaksanakan.
Di tempat lain Nabi menyaksikan
sekelompok orang yang bercocok tanam. Anehnya, saat itu menanam saat itu juga
pohon itu berbuah. Tiap kali dipetik seketika itu keluar lagi buahnya. Kata
Malaikat Jibril, “Wahai Muhammad, itulah sebuah potret ummatmu yang gemar
memberikan bantuan kepada orang yang memang memerlukannya. Mereka rajin
sedekah, membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, memberikan bantuan
kepada pembangunan masjid, menyelenggarakan dakwah, pendidikan dan semacamnya”.
Jadi orang yang rajin membelanjakan
hartanya di jalan Allah itu ibarat orang yang sekali menanam dan terus menerus
memanen buahnya. Sehingga milik kita yang sebenarnya bukanlah apa yang ada pada
diri kita sekarang ini. Uang kita yang sesungguhnya adalah uang yang sudah kita
belanjakan di jalan Allah
Dan masih banyak lagi
peristiwa-peristiwa yang disaksikan Nabi Muhammad SAW sebagai pelajaran bagi
kita ummatnya sekaligus merupakan sebagian kecil dari tanda-tanda kebesaran
Allah SWT.
Ma’asyiral muslimin sidang jama’ah
jum’at rahimaniy wa rahimakumullah
Isra’ Mi’raj sesungguhnya adalah
batu ujian. Setelah terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj tampak di antara
orang-orang yang beriman makin mantap imannya, yang ragu-ragu makin kembali
kepada kekafirannya, dan yang memang sudah kafir kian hebat kekafirannya.
Kelompok pertama yang makin mantap
imannya diwakili oleh Abu Bakar Shiddiq RA. Ketika diceritakan orang bahwa Nabi
Muhammad berangkat dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu ke Shidratul
Muntaha, dan kembali lagi ke Mekkah hanya dalam waktu semalam, beliau menjawab,
“Kalau memang Muhammad yang cerita, jangankan cuma ke Masjidil Aqsha di
Palestina, lebih dari itupun saya percaya”. Sejak peristiwa Isra’ Mi’raj itulah
mulai tampak mana yang benar-benar beriman, mana yang setengah-setengah, dan
mana yang memang kafir.
Maka bersyukurlah kita yang hidup di
zaman yang jauh dari zaman Rasulullah, kita belum pernah berjumpa dengan Nabi,
belum pernah mendengar tuturan beliau, juga tidak pernah menyaksikan gerak
langkah perjuangan beliau, tetapi kita percaya akan peristiwa Isra’ Mi’raj.
Jauh lebih beruntung dari pada mereka yang hidup di zaman Nabi, tapi mereka
tidak mau beriman.
Hanya saja yang perlu kita catat,
bahwa berbicara dan memperingati Isra’ Mi’raj bukanlah pesta pora, melainkan
bercermin. Betapa ilmu pengetahuan manusia ada batasannya. Bahkan titel paling
akhir tidak lain adalah almarhum. Setiap manusia berjalan ke arah sana. Untuk
itu marilah kita menyiapkan diri kita untuk melangkah ke arah itu.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي
الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ
هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ
الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ
وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ
الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua
الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ
عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا
كَثِيْرًا. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. قَالَ
تَعَالَى: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا} وَقَالَ: {وَمَن يَتَّقِ
اللهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا}
ثُمَّ اعْلَمُوْا فَإِنَّ اللهَ
أَمَرَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَى رَسُوْلِهِ فَقَالَ: {إِنَّ اللهَ
وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ
ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا}.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ
إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ،
إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ
الدَّعَوَاتِ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ،
وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ
لَنَا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا
الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِيْ إِلَيْهَا
مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ
الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَاللهِ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ
بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ، وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ
اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِِ وَاْلبَغْي، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ،
فَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ
يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ، وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.